Para sahabat, tabi’in dan generasi salaf memiliki
kesungguhan yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Mereka rela bersusah payah dan
mengadakan perjalanan yang jauh demi mendapatkan penafsiran sebuah ayat atau
meriwayatkan sebuah hadits dari seorang ulama.
Inilah kisah ulama besar dan ahli ibadah generasi
tabi’in, Masruq bin Ajda’ Al-Hamdani Al-Kufi (wafat tahun 63 H). Ia adalah
murid senior sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di kota Kufah. Imam
Asy-Sya’bi berkata tentang Masruq bin Ajda’ Al-Kufi, “Saya tidak melihat orang
yang lebih rajin menuntut ilmu melebihi Masruq.” Imam Ibnu Abdil Barr Al-Maliki
dalam Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi menulis, “Imam Masruq
mengadakan perjalanan jauh demi mendengar satu kalimat (ayat atau hadits).
Demikian juga imam Abu Sa’id —Hasan Al-Bashri— mengadakan perjalanan jauh demi
mendengar satu kalimat (ayat atau hadits).”
Inilah kisah ulama besar tabi’in, Abul ‘Aliyah Rufai’
bin Mihran Ar-Riyahi Al-Bashri (wafat tahun 93 H). Ulama hadits dan sejarawan
Islam, imam Al-Khathib Al-Baghdadi, dalam bukunya Ar-Kifayah fi Ilmir
Riwayah menulis: “Abul Aliyah berkata: “Kami mendengar riwayat hadits
dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam saat kami berada di
Bashrah, maka kami tidak puas sampai kami mengadakan perjalanan ke Madinah
untuk mendengar hadits-hadits tersebut secara langsung dari mulut para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.”
Inilah kisah imam Sa’id bin Musayyib Al-Madani (wafat
tahun 94 H), seorang ulama besar tabi’in, penghulu generasi tabi’in dan menantu
sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ulama tafsir, hadits dan
sejaran Islam, imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi dalam Al-Bidayah wan Nihayah menulis
tentang biografi imam Sayid bin Musayyib: “Imam Malik meriwayatkan dari imam
Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Musayyib berkata: “Saya dahulu mengadakan
perjalanan jauh selama beberapa hari dan beberapa malam demi mendapatkan satu
hadits.”
Inilah kisah ulama besar generasi tabi’in, imam
Asy-Sya’bi Amir bin Syarahil Al-Hamdani Al-Kufi (wafat tahun 103 H). Ulama
hadits dan sejarawan Islam, imam Ar-Ramahurmuzi dalam Al-Muhaddits Al-Fashil
Baina Ar-Rawi wal Wa’I menulis: “Imam Asy-Sya’bi mengadakan perjalanan jauh
dari Kufah ke Makkah karena mendengar berita tentang tiga buah hadits.
Asy-Sya’bi berkata: “Semoga aku bisa berjumpa dengan seorang sahabat
radhiyallahu ‘anhu (yang bisa menceritakan hadits-hadits tersebut di kota
Makkah).”
Inilah kisah ulama besar generasi tabi’in kota Basrah,
imam Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi Al-Bashri (wafat tahun 104 H). Imam
Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits menulis: “Imam
Abu Qilabah berkata: “Saya tinggal di Madinah selama tiga bulan, saya tidak
memiliki kepentingan di kota ini, selain menunggu kedatangan seorang (sahabat)
yang telah sampai berita kepadaku bahwa ia meriwayatkan sebuah hadits. Sampai
berita kepadaku bahwa ia akan datang, maka aku menunggu kedatangannya sampai ia
datang, sehingga ia bisa menceritakan kepadaku hadits tersebut.”
Inilah kisah ulama besar generasi tabi’in di negeri
Syam, imam Makhlul Asy-Syami (wafat tahun 112 H). Ulama hadits dan sejarawan
Islam, imam Adz-Dzahabi menulis dalam Tadzkiratul Hufazh: “Dari Ibnu
Ishaq berkata: Saya mendengar Makhul berkata: “Saya telah berkeliling dunia
untuk menuntut ilmu.” Abu Wahb meriwayatkan bahwa Makhul berkata: “Saya
dimerdekakan di Mesir, maka aku tidak membiarkan seorang ulama pun di Mesir
melainkan ilmunya telah aku kuasai. Aku kemudian pergi ke Irak dan Madinah,
maka aku tidak membiarkan seorang ulama pun di kedua negeri itu melainkan
ilmunya telah aku kuasai. Aku kemudian mendatangi negeri Syam maka aku
menyaring ilmu para ulamanya.”
Inilah kisah ulama besar hadits dan fiqih abad dua dan
tiga Hijriyah, imamnya ahlus sunnah wal jama’ah, Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani
(wafat tahun 241 H). Syaikh Ahmad bin Hamdan Al-Hambali Al-Faqih dalam Shifatul
Fatwa wal Mufti wal Mustafti menulis: “Imam Ahmad berkata: “Saya
mengadakan perjalanan jauh demi mencari ilmu dan sunnah (hadits) ke
daerah-daerah perbatasan (negeri Islam dan negeri kafir), negeri Syam,
wilayah-wilayah pantai negeri-negeri Islam, Maghrib (Maroko), Aljazair, Makkah,
Madinah, Hijaz, Yaman dan dua Irak (Iran dan Irak), Persia, Khurasan
(Afghanistan), wilayah-wilayah pegunungan dan ujung-ujung negeri Islam,
kemudian aku kembali ke Baghdad.”
Ulama tafsir, hadits, fiqih dan sejarah Islam, Imam
Ibnul Jauzi Al-Baghdadi Al-Hambali dalam Shaidul Khathir menulis: “Imam
Ahmad bin Hambal telah berkeliling dunia (dunia Islam, pent) selama dua kali
sehingga ia mampu menulis kitab hadits Al-Musnad.”
Inilah kisah menakjubkan seorang ulama hadits dan
sejarawan Islam, imam Ya’qub bin Sufyan Al-Farisi Al-Hafizh Al-Jawwal (wafat
tahun 277 H). Ulama hadits dan sejarawan Islam, Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam Tahdzib At-Tahdzib menulis: “Abu Abdurrahman
An-Nahawandi berkata; Aku mendengar imam Ya’qub bin Sufyan berkata: “Saya
telah mencatat hadits dari seribu orang ulama lebih, dan mereka semua adalah
orang yang tsiqah (baik hafalan haditsnya dan shalih akhlaknya). Ibnu
Hamzah berkata: “Imam Ya’qub bin Sufyan berkata kepadaku: “Saya telah
mengadakan perjalanan jauh (untuk menuntut ilmu) selama tiga puluh tahun.”
Kisah-kisah kesungguhan para ulama salaf dalam
mengadakan perjalanan jauh demi menuntut ilmu sungguh sangat banyak dan telah
diabadikan dalam buku-buku sejarah Islam. Mereka rela meninggalkan tanah
kelahiran dan keluarga, mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki atau
naik unta sejauh puluhan ribu hingga jutaan kilometer. Mereka mendatangi para ulama
di setiap negeri Islam, mendengarkan tafsir, hadits, fiqih, dan akhlak dari
mereka. Merekalah yang telah menghimpun ilmu, membukukannya dan meriwayatkannya
hingga sampai ke tangan umat Islam saat ini. Sungguh jasa mereka kepada kaum
muslimin sangat besar.
Saudaraku seislam dan seiman…
Tauladan mereka dalam mengadakan perjalanan jauh demi
menuntut ilmu adalah nabiyullah dan kalimullah, Musa ‘alaihis salam. Meski
beliau adalah seorang nabi dan rasul yang mendapat predikat ulul azmi
dan kalimullah (orang yang pernah berbicara secara langsung dengan
Allah), beliau tidak malu dan malas untuk berjalan jauh demi menuntut ilmu.
Allah mengabadikan kisahnya dalam firman-Nya:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى
أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا
مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ
سَرَبًا (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ
لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا
إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا
الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63)
قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا (64)
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا
وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ
عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66)
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya:
“Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan;
atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.”
Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut
itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke
laut itu.
Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah
Musa kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah
merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan
tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya
kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh
sekali.”
Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi [18]: 60-66, baca juga kelanjutan kisahnya sampai ayat 82)
Teladan mereka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa salam yang telah mengajarkan:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ
اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut
ilmu, niscaya Allah mudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Abu Daud no.
3641, Tirmidzi no. 2646 dan Ibnu Majah no. 223)
Semoga kita bisa mewarisi dan meneladani kesungguhan
mereka dalam mendalami ilmu syariat Islam ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi:
Abdul Fattah Abu Ghuddah, Shafahat min Shabril
Ulama’ ‘ala Syadaidil Ilmi wat Tahshil, Alepo: Maktbah Al-Mathbu’ah
Al-Islamiyyah, cet. 2, 1394 H.
[Sumber: muhib almajdi /
arrahmah.com]
No comments:
Post a Comment