Sungguh mulia kedudukan seorang wanita dalam Islam, dimulai dari perintahnya untuk menutup aurat dengan santun serta berhijab yang membuatnya terjaga dari fitnah yang dapat merusak kemuliaanya. Perannya pun cukup penting dalam pembinaan di sebuah keluarga. Kita tahu sendiri bahwa pembinaan seseorang dimulai dari keluarganya, dan seorang ibu cukup berperan disini.
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam bersabda: “Dunia ini adalah perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim,Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Sungguh indahnya jika kita bisa menjadi seorang wanita yang shalihah. Namun seorang wanita pada hakikatnya bisa juga menjadi fitnah terbesar bagi kaum Adam. Kita mungkin tahu bahwa kaum wanitalah yang banyak dijumpai di neraka. Lalu, bagaimanakah caranya bagi kita agar bisa terus menjaga diri dari fitnah?
Dari Abu Mas’ud, ia berkata bahwa Uqbah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara kalimat kenabian pertama yang sampai ke tengah-tengah manusia adalah: “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu”. (Shahih)-Ash Shahihah (684), Al Irwa’ (2673): [Bukhari: 60-Kitab Al Anbiya’, 54-Bab Hadatsana Abul Yaman]
Sifat malu inilah yang menjadi pencegah bagi kita untuk berbuat maksiat an dosa. Seorang muslimah akan menjauhkan dirinya dari larangan Allah dan selalu menaati Allah disebabkan rasa malunya kepada Allah yang telah memberikan kebaikan padanya yang tidak terhitung.
Dari Salim, dari ayahnya, ia menceritakan bahwa:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang pria yang menasihati saudaranya karena ia begitu pemalu [dalam suatu riwayat disebutkan [pria itu mencelanya karena sifat malu yang dimilikinya] [bahkan pria itu berkata: “Saya dirugikan karena sifatmu itu.”] Nabi lalu bersabda, “Biarkanlah dia, karena malu merupakan ciri keimanan.” (Shahih)-Ar Roudh An Nadhir (513): [Bukhari: 2-Kitab Al Iman, 16-Bab Al Haya’. Muslim: 1-Kitab Al Iman, hal. 59]
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Iman itu ada 60 lebih (atau 70 sekian) cabang. Iman yang paling utama adalah [ucapan] Laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, sedangkan malu termasuk cabang dari iman.” (Shahih)-Ash Shahihah (1769). Lafazh “sab’un (70)” itu yang lebih tepat. [Bukhari: 2-Kitab Al Iman, 3-Bab Umurul Iman. Muslim: 1-Kitab Al Iman, hal. 57-58]
Hayatilah kisah yang difirmankan Allah berikut ini,
“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.” (Al Qoshosh : 23-24)
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan penuh rasa malu, ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.’” (Al Qoshosh : 25).
Setelah kita tahu bahwa begitu baiknya sifat malu ini, namun seperti apakah sifat malu yang dimaksud? Pada dasarnya sifat malu yang dimaksudkan disini adalah perintah untuk malu berbuat kepada yang mungkar. Ada malu yang merupakan watak asli manusia dan juga ada malu yang diupayakan (dengan mempelajari syariat). Bagi mereka yang dianugrahi sifat malu oleh Allah ini merupakan nikmat yang besar karena sifat ini tidak memunculkan kecuali kebaikan, sesuai dengan sabda Rasulullah dari Imran Ibn Hushain radhiyallahu’anhu: “Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari Muslim). Sifat malu baik yang diupayakan maupun yang merupakan watak manusia, sifat itulah yang menjadi pencegah bagi dirinya untuk melakukan maksiat dan dosa.
Namun, ada juga malu yang tercela, yaitu malu yang menjadikan pelakunya mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala sehingga akhirnya dia beribadah kepada Allah dengan kebodohan. Di antara malu yang tercela adalah malu bertanya masalah agama, tidak menunaikan hak-hak secara sempurna, tidak memenuhi hak yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk hak kaum muslimin. Atau malu dalam menjalankan perintah Allah, contohnya malu untuk tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, malu untuk berprestasi, dan yang lainnya.
Sahabat, pergunakanlah sifat malu ini dengan sewajarnya. Pergunakan sifat ini untuk mencegah bagi kita untuk tidak melakukan dosa. Terus tingkatkan ilmu dan dekatkan diri kita kepada Allah untuk dapat mengolah sifat ini sesuai dengan syariat. Tetapi bukan berarti sifat ini menghalangi kita untuk berbuat kebaikan. Tetaplah jadikan akhirat di hati kita dan dunia di tangan kita. Berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan sampai kita menjadi wanita yang paling mulia di sisi Allah.
Wallahu a’lam.
[Sumber : Kitab Riyadhus Shalihin Bab 84 ~ matasalman.com]
No comments:
Post a Comment