Hubungan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan adalah suatu hubungan yang tidak mungkin dipisahkan. Manusia sebagai mahluq yang diciptakan Allah SWT, mustahil bisa berlepas diri dari keterikatannya denganNYA. Bagaimanapun tidak percayanya manusia dengan Allah, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar manusia akan mengikuti sunatullah yang berlaku di alam semesta ini. Sesungguhnya hubungan antara Allah dan manusia sudah disadari oleh sebagian besar manusia sejak dahulu. Mereka sudah mendudukkan Allah sebagai Rabb (pencipta alam semesta) tapi mereka masih terhalangi, baik oleh kejahilan atau kesombongan, untuk menempatkan Allah sebagai Ilah (yang disembah/diabdi), QS 39:67. Manusia yang demikian belumlah sempurna kehidupannya karena ia telah mengingkari sesuatu yang hak dan telah berlaku dhalim, dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang salah. Mereka telah menempatkan mahluq (hidup ataupun mati) sebagai ilah mereka.Oleh karena itu seorang mukmin harus memahami bagaimana hubungan yang seharusnya dibina dengan Allah SWT, sebagai Rabb-nya dan Ilah-nya.
Hal yang penting di dalam membina hubungan itu, manusia harus lebih dahulu mengenal betul siapa Allah. Bukan untuk mengenali zatNYA, tetapi mengenali landasan dasar-NYA (masdarul ´ulmu)/ilmu-ilmu Allah. (QS 35:28, 49:18). Dengan memahami bagaimana luasnya kekuasan dan Ilmu Allah, akan timbul rasa kagum dan takut kepada Allah SWT sekaligus menyadari betapa kecil dan hina dirinya. Pemahaman itu akan berlanjut dengan kembalinya ia pada hakikat penciptaannya dan mengikuti landasan hidup yang telah digariskan oleh Allah SWT (QS 96:5). Ia menyadari ketergantungannya kepada Allah dan merasakan keindahan iman kepada Allah.Ada tiga hal yang dapat dijelaskan didalam hubungan antara manusia (mukmin) dan Allah setelah manusia mengenali Allah dengan benar.
Pertama, pengenalan tersebut akan mebuahkan hubungan yang indah denganNYA. Hubungan itu akan ditandai dengan adanya rasa mahabah (cinta) yang sangat tinggi terhadap Allah. Bahkan mengalahkan rasa cinta nya kepada manusia lain ataupun benda yang dimilikinya. Ia memiliki tanda-tanda cinta seperti yang telah Allah gambarkan didalam surat Al Anfal : 2. Rasa cinta tersebut akan membuatnya selalu optimis dan dinamis didalam kehidupannya sebagai seorang mukmin, yang membuat jiwanya selalu stabil didalam berbagai kondisi.
Kedua, Di dalam Al Qur`an, Allah mengibaratkan hubungan manusia (mukmin) dan Allah itu adalah seperti hubungan tijarah (jual beli) yang akan menyelamatkan orang-orang mukmin dari azab yang pedih. Jual beli itu berupa keimanan kepada Allah swt dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa (QS 61: 10-11). Selain itu Allah juga mengibaratkan `amal sholih seorang mukmin sebagai pinjaman yang diberikan kepada Allah. Di mana pinjaman itu akan Allah beli dengan harga yang sesuai dengan penilaian Allah. Pinjaman itu dapat berupa tenaga ataupun harta. Walaupun hakikatnya semua harta di langit dan di Bumi adalah milik Allah dan diberikan sementara untuk manusia. Tetapi jika manusia gunakan harta itu untuk menegakkan kalimat Allah, maka Allah akan menganggapnya sebagai suatu pinjaman. Dan Allah akan mengembalikan pinjaman itu dengan berlipat ganda dan tidak terbatas (QS 64:17, 2:261).
Ketiga, hubungan manusia (mukmin) dan Allah itu ditandai dengan adanya kontrak kerja yang menjadi kewajiban manusia, yaitu berupa `amal sholih. Manusia terikat dan terlibat didalamnya. Baik `amal yang bersifat umum (ibadah) maupun ´amal khusus (da`wah). Amal tersebut lebih dari sekedar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengajak orang lain beribadah. Sehingga tidak dibenarkan seorang mukmin memisahkan diri, tetapi ia harus selalu berhubungan dengan manusia (berjamaah).
Jika dipahami lebih jauh dari tiga pengertian di atas. Maka dapat diibaratkan manusia itu sebagai penjual `Amal sholih dan Allah sebagai pembelinya. Dua hal milik manusia yang dapat ditawarkan adalah hartanya (amwal) dan dirinya (anfus). Harta sebagai sarana dan prasarananya dalam mengerjakan `amal sholih, sedangkan dirinya/jiwanya sebagai komitmen selanjutnya. Penjualan itu haruslah berkualitas ihsan (mejual yang terbaik) sehingga akan menimbulkan keridhoan Allah SWT. Di mana `Amal sholih nya itu dilakukan atas dasar karena Allah (lillah), dengan caraNya (billah) dan untukNya (fillah). Allah akan membeli yang terbaik dari manusia dan Allah telah berjanji untuk membayarnya dengan Jannah, dialam yang kekal nanti. (QS. 61:10, 9:105, 111).
Adapun bentuk jual beli yang termahal dan dihargai begitu tinggi oleh Allah adalah berjihad dijalanNya. Inilah sebaik-baiknya pinjaman. Berjihad berarti ia berusaha sekuat tenaga dan rela mengorbankan apapun didalam perjuangan menegakkan kalimat Allah. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasululloh dan para Shahabat. Jalan yang jauh dari kesenangan dunia. Mukmin yang berjihad adalah mukmin yang sudah menghayati dan meng‘amalkan makna syahadat. Makna syahadat yang tidak hanya menghiasi lisannya tapi sudah tergambar didalam tingkah laku dan àmal perbuatannya. Kehidupan seorang mukmin, merupakan bukti dari pengertian pengakuan akan ke-Ilahan Allah dan ia akan mempertahankan terus hingga kematiannya. Bagi mukmin tersebut, kematiannya bernilai Syahid yang tetap hidup disisi Allah dan tidak ada tempat baginya selain di Syurga.
Wallahu‘alam.
(sumber: ukhwah-i.tripod.com ~ Blogger Indonesia)
No comments:
Post a Comment