Tinta 4: Ukhwah Islamiah & Perjalanan Dakwah


Sesungguhnya yang mesti dihindarkan oleh para aktivis dakwah adalah perasaan buruk sangka terhadap saudaranya sendiri di mana ini biasanya berlaku kerana kurangnya rasa saling mengenal antara sesamaaktivis dakwah.

Ramai di antara kita yang kehilangan semangat berjamaah disebabkan masih cenderung memegang ego kelompok (ashabiyyah).

Rasulullah saw bersabda :
“Tidaklah kamu sekalian termasuk beriman sebelum saling menyayangi.”

Para sahabat berkata,
”Ya Rasul, kami sudah saling menyayangi.”

Baginda menjawab,
”Yang dimaksudkan bukanlah berkasih sayang hanya dengan salah seorang di antara sahabat-sahabatmu, tetapi berkasih sayanglah kepada umum.” (HR Ath-Thabrani)

Apabila wilayah `ta'aruf' sudah terbentang, maka akan tumbuh pula sikap `tafahum'.
‘Tafahum’ bererti usaha setiap aktivis dakwah untuk dapat menggali informasi sebanyak mungkin segalaperkara yang berkaitan dengan cara berfikir dan ruang lingkup pengalamannya dari sesama saudaranya.


Untuk belajar memahami orang lain, kita sepatutnya mampu mengenal pasti karakter diri kita berdasarkan perspektif orang lain.

Kita wajib memiliki gambaran khayalan tentang saudara kita, iaitu ‘empati’.

Sikap `tafahum' akan menjaga kesegaran jamaah dakwah kerana dakwah dipikul oleh orang-orang yang :
Mempunyai keterpautan hati.
Saling bertoleransi.
Saling berkompromi untuk perkara-perkara yang mubah.
Kepentingan `tafahum' akan kian terasa ketika pendukung jamaah dakwah terdiri dari berbagai jenis orang baik suku, budaya mahupun bahasanya.

Semua karakter kesukuan mesti lebur dalam tradisi `tafahum' dalam ukhuwah walaupun kedekatan tradisi dan budaya juga bermanfaat bagi kejayaan dakwah.

Imam Malik pernah berkata :

"Lihatlah orang dengan kebenaran dan jangan sebaliknya, iaitu engkau lihat kebenaran dengan orang."

Puncak `tafahum' ada pada tahap "berbicara" pada satu bahasa di mana sebagai satu karakter khas yang mewarnai seluruh aktivis jamaah dakwah adalah mereka berfikir dengan pola pemikiran yang satu dan berbicara dengan bahasa yang satu.

Sesiapa yang tidak memahamkan dirinya dengan konsep `tafahum' ini akan gagal memasuki tahap ukhuwah berikutnya, iaitu `ta’awun'.

Jika cinta kepada Allah telah menembusi jantung setiap dada umat ini maka sifat ‘ta’awun merupakan salah satu ciri yang melekat seutuhnya. Saling tolong menolong antara aktivis dakwah tidak mungkin wujud jika setiap individu dilanda penyakit ‘wahn’, pengecut dan lemah.

Perasaan ‘ta’awun’ akhirnya mampu membawa aktivis dakwah kepada lorong ‘takaful’.
Ia adalah perasaan tanggungjawab yang akan menyebabkan setiap aktivis dakwah bersikap sangat waspada dan memiliki ‘self control’ yang tinggi untuk menjaga saudaranya dari kehancuran, fitnah dan celaan keranadia merasakan bahwa dirinya juga sebahagian dari saudaranya yang lain.
Memang begitulah Islam mengajarkan bahwa sesama muslim itu bersaudara.

Rasulullah saw bersabda :
“Barangsiapa menutupi aib saudaranya maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR Ibnu Majah)
Inilah intisari ukhuwah yang darinya lahir `itsar' (mendahulukan sesama saudara) iaitu puncak dari segala amal ukhuwah.

`Takaful' tidak semestinya bahu membahu dalam memberikan jaminan kebendaan. Ia boleh dalam bentuk bahu membahu :
* Menunaikan kerja.
* Saling membela orang yang dizalimi.
* Saling mengirim doa.

‘Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’ tidak akan pernah tegak sebelum umat ini bersatu dalam ikatan Ukhuwah Islamiyah’.

Untuk itu kita perlu bangunkan harapan bersama bagi terciptanya ‘Ukhuwah Islamiyah’ dalam sebuah jamaah. 

Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam yang sejati akan panjang usianya bahkan hingga ke hari akhirat kelak bersesuaian dengan sebuah hadis Rasulullah saw :

"Di sekitar Arasy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para nabi atau syuhada'. Para nabi dan syuhada cemburu kepada mereka." Ketika ditanya para sahabat, Rasulullah menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai kerana Allah, saling bersahabat kerana Allah dan saling berkunjung kerana Allah." (HR Tirmizi)

Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang menjalinkan hubungan ukhuwah antara sesama kami semata-mata keranaMu. Sesungguhnya tiada tujuan lain kami berada di atas jalan dakwah ini melainkan untuk sama-sama menjadikan kalimahMu tinggi dan terpacak kuat di muka bumi ini. Jauhkanlah kami dari menuntut apa-apa kepentingan dari saudara-saudara kami dalam kami bersahabat dan bersaudara di jalanMu yang mulia ini.

[sumber: tintaperjalananku.blogspot.com]

Tinta 3: Ukhwah Islamiah & Perjalanan Dakwah


Ilmu secara teorinya tidak akan mencapai tingkatan kesempurnaan selama mana tidak ditimbang dengan akal.

Imam Syafi'ie pernah ditanya apakah kemampuan akal itu merupakan potensi yang dibawa sejak dari kelahiran?

Beliau menjawab :"Tidak, tapi akal itu adalah hasil dari pergaulan dengan ramai orang dan berdiskusi dengan mereka."

Berkata Ibnu Abbas ra :"Mengunyah garam dalam sebuah jamaah masih lebih baik daripada memakan manisan dalam perpecahan."

Ada persiapan yang mesti dilakukan agar seseorang dapat memiliki kesediaan untuk melontarkan pendapat dan menerima kritikan dengan baik.

Menurut Imam Al Mawardi dalam kitabnya `Adabu dunya wa din' :

"Yang paling utama adalah kesediaan meringankan beban saudara kita.

Kenapa?

Ini adalah kerana, bagaimana seseorang mahu mendengar dan menyahut dengan baik jika ia masih memiliki beban yang menghantui dirinya.



Oleh yang demikian, untuk menjalin ukhuwah yang tulus, seseorang mesti memiliki keyakinan dahulu akan kasih sayang sahabatnya.

Permulaan haknya adalah meyakini kasih sayangnya, kemudian :
~ Menjalin persahabatan dengannya dengan memberi keluasan padanya pada selain yang haram.
~ Menasihatinya baik secara sembunyi atau terang terangan.
~ Meringankan bebannya.
~ Menolongnya dari apa yang menimpa dirinya.

Sesungguhnya menemaninya secara zahir semata-mata adalah kecurangan dan meninggalkannya dalam kesulitan dan kesusahan adalah penghinaan."

Demikianlah kedudukan nasihat dari orang yang menasihati.

Apabila hati bersih, maka ia akan semakin bersedia menerima nasihat dan mendengarkan nasihat namun apabila hati ternoda dan terkesan dengan berbagai masaalah seperti kesibukan, kesakitan, keletihan, kecintaan kepada dunia, kepentingan diri dan sebagainya, maka semua itu akan menghalangi seseorang untuk mendengar dengan teliti.

Kemesraan ukhuwah di jalan Allah dibangunkan di atas empat (4) perkara :
Saling kenal mengenal (ta'aruf).
Saling memahami (tafahum).
Saling tolong menolong (ta’awun)
Saling berkongsi beban (takaful).
Keempat-empatnya merupakan tiang ukhuwah yang tidak boleh luput dari roda perjalanan dakwah.

“Tak kenal maka tak cinta adalah sebuah peribahasa yang sudah akrab di telinga kita.
Ta’aruf antara ahli rombongan musafir dakwah merupakan tiang utama yang mesti ditegakkan terlebih dahulu dalam membangun persaudaraan.
`Ta'aruf' bermula dari pengenalan secara fizikal, karakter, kadar keseriusan dalam bertaqarrub kepada Allah dan perkara-perkara lahiriyah lainnya.

Rasulullah saw bersabda :

"Seorang mukmin itu makhluk yang cepat mesra, maka tidak ada kebaikan pada orang yang tidak cepat mesra dan tidak boleh dimesrai." (HR Ahmad dan Thabrani)

`Ta'aruf'`yang baik dan mendalam diharapkan akan :
Mengurangkan kekeringan dan keretakan hubungan sesama muslim.
Membuatkan hati menjadi lembut serta mampu melenyapkan bibit perpecahan.
Timbulnya rasa persaudaraan yang kokoh.
Berseminya rasa kasih sayang yang mendalam antara penggerak dakwah.  
Munculnya rasa tanggung jawab yang besar
Menjadikan setiap aktivis dakwah memiliki jiwa besar untuk bersedia menerima dan memberi kepada sesama saudaranya.
[sumber: tintaperjalananku.blogspot.com]

Tinta 2: Ukwah Islamiah & Perjalanan Dakwah


Sepertimana ketika kita melakukan perjalanan yang sebenarnya, seorang musafir mesti menolong saudara-saudaranya dalam perjalanan.

Ukhuwah yang tulus di jalan ini menjadi :
1.  Perhiasan di saat bahagia.
2.  Pelindung di saat kesulitan.

Maka, tanpa ikatan ukhuwah yang kuat, seseorang akan sukar untuk bertahan lebih-lebih lagi dalam menghadapi kesempitan.

Itu pula yang menjadi sebab kenapa para pendakwah di zaman ini menjadikan ukhuwah sebagai salah satu syarat dalam bai'ah (janji keanggotaan) mereka. 
Dalam `Risalah Ta'lim' , Imam Hasan Al-Banna menyebutkan :

"Hendaknya hati dan jiwa mereka (para anggota) terikat dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah ikatan paling kuat dan paling mulia. Ukhuwah adalah saudara keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kekufuran. Awal kekuatan adalah kekuatan persatuan. Tidak ada persatuan tanpa cinta. Paling minima cinta yang tumbuh di antara mereka adalah bersihnya hati dari perasaan yang tidak baik dengan sesama mereka. Dan cinta yang paling tinggi adalah `itsar' atau mendahulukan kepentingan saudaranya."

Ukhuwah yang dikehendaki juga tidak boleh secara berlebihan, ertinya, cinta tidak boleh mengabaikan asas keadilan dan tujuan hingga membawa kepada sikap fanatik buta dan `ta'ashub'.

Syariat Islam melarang kita terlalu :
i.  Keras dalam mencaci.
ii.  Berlebihan dalam memuji.
iii. Syariat juga melarang sikap berlebihan dalam segala perkara.
iv. Berlebihan dalam cinta akan mendorong seseorang untuk meremehkan hak orang lain dan setiap sesuatu yang melewati batasnya ia akan memberi kesan kepada orang lain pada perkara yang bertentangan dengannya.

Neraca untuk mampu mencintai dengan adil adalah dengan melakukan `tawashi' atau saling mewasiatkan dalam kebenaran.

Seseorang mestilah mampu :
# Menasihati saudaranya.
# Mengingatkannya untuk kembali pada kebaikan.
# Memerintahkannya untuk menghindari larangan Allah.

Seorang ulama’ pernah berkata :
"Seorang mukmin dengan mukmin lainnya itu seperti dua tangan yang saling membersihkan dan menyucikan,"

Dalam kerangka itu, seorang pendakwah sebagaimana seorang musafir :
~ Perlu berbicara dan bertukar fikiran dengan teman seperjalanannya.
~ Mesti mampu menyampaikan kritikan atau menolak pendapat.
~ Kedua-duanya adalah untuk meluruskan penyimpangannya.

Memang, ada sebahagian orang yang memandang bahwa :
Penolakan atau kritikan adalah sebahagian dari kebencian.
Dialog itu dapat membawa kepada perselisihan.
Tetapi, ini adalah satu cara berfikir yang agak keliru.

Seorang manusia akan tetap berbeza pendapat kerana mereka memang berbeza dalam hal :
Pemahaman dan akal.
Pengetahuan dan pengalaman.
Perasaan dan pandangan.
Ini adalah kerana wilayah-wilayah tersebut pasti ada perbezaan dan perselisihan.

Namun, yang diperlukan adalah bagaimana seseorang boleh memandang pendapat yang dianggapnya tidak benar itu bagi diberi masukan (input) dengan baik.

Berdiskusi dan berhujah tetap diperlukan untuk menjelaskan kebenaran dan menjelaskan jalan. 

Jika itu tujuan dan matlamatnya, maka segala :
* Kritikan.
* Pembetulan.
* Hujahan.
* Diskusi.
* Penolakan.

tidak sepatutnya membawa kepada permusuhan atau rasa benci malah sebaliknya suasana kasih dan cinta yang semakin kuat seharusnya muncul.

Imam Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitab ‘Majmu' Al Fatawa’nya bahwa para sahabat Rasulullah saw juga berdebat dalam menyelesaikan suatu masaalah melalui musyawarah dan saling menasihati namun mereka tetap memelihara kedekatan, kebersihan niat dan persaudaraan dalam agama.

Maka dari sinilah para ulama' terdahulu pun biasa saling tidak sepakat dalam suatu masalah.

Diskusi di antara para pendakwah itu penting kerana ianya akan dapat:
a.  Memperluaskan pemikiran.
b.  Mempertajamkan pandangan.
c.  Meluruskan kesalahan.
d.  Memperbaiki kesilapan.
e.  Saling tolong menolong dalam kebaikan.

[sumber: tintaperjalanku.blogspot.com]

Tinta 1: Ukhwah Islamiah & Perjalanan Dakwah


Kesulitan yang kita hadapi di sepanjang jalan dakwah  ini tidak seberapa kalau nak dibandingkan dengan anugerah dan kurniaan Allah yang sangat besar dan hanya dirasakan oleh mereka yang beriman yang saling memelihara ukhuwah di atas nama Allah.

Dalam kafilah dakwah ini, kita sememangnya memerlukan ukhuwah kerana ia adalah nikmat yang sangat mahal bagi kita. 

Jasad kita boleh tercedera manakala darah, air mata dan peluh boleh meluncur keluar tapi semuanya tidak boleh menghilangkan nikmat persaudaraan atau ukhuwah di jalanNya.

Namun, bagaimanakah kita boleh memiliki nikmat ukhuwah itu?

Di jalan ini, kita mesti mampu :
1.  Memelihara sikap lemah lembut
2.  Berusaha menjaga hubungan baik dengan teman seperjuangan.

Sememangnya itu bukan suatu perkara yang mudah kerana kejayaan kita dalam menjaga ukhuwah di jalan ini boleh menjadi ukuran kadar kejayaan kita dalam memiliki hubungan sosial yang baik dengan masyarakat.

Mari kita susuri beberapa ungkapan seorang ulama' dakwah Dr. Adil Abdullah Al-Laili Asy Syuwaikh di dalam kitabnya “Musafir di dalam kereta dakwah”:
“Kehidupan kita di dunia ini pada hakikatnya adalah umpama perjalanan seorang musafir sepertimana yang digambarkan dalam sebuah hadith :
‘Bagaikan pengembara yang berteduh di bawah pohon, setelah itu ia pergi lagi dan meninggalkan pohon itu.’

                                                                                                                                                                                                        Dalam perjalanan ini terdapat para pendukung kebaikan yang mengajak manusia kepada kebenaran dan mencegah mereka dari kemungkaran dan pendukung kebatilan yang mesti terus di dakwahkan.

Sebahagiannya menerima seruan dakwah tersebut dan sebahagiannya lagi menolak. Mereka yang menerima seruan dakwah ini berpotensi menjadi orang-orang pilihan, yang mampu bersikap zuhud dan berkeperibadian rahib di tengah dominasi syahwat dan kebendaan ketika ini.

Orang-orang ini layak mendapat julukan manusia yang unggul dan boleh dipercayai serta layak memikul amanah berat dalam kafilah dakwah ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“...bagai seratus ekor unta, hampir saja kamu tidak mendapatkan di antaranya (yang layak) menjadi tunggangan.” (Muttafaq ‘alaihi)

Orang-orang inilah yang dikatakan sebagai para musafir dakwah yang sedang melakukan perjalanan menuju Allah untuk mendapatkan syurgaNya.
1.  ‘Manual’ hidup mereka adalah Al Qur’an dan As Sunnah.
2.  Surat pendaftaran kenderaannya adalah iman dan amal.
3.  Visanya adalah keikhlasan dalam beramal.
4.  Bekalan perjalanannya adalah taqwa.

Adapun teman-teman seperjalanannya adalah : 
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan solat, dan (dari membayar zakat). Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS Nur : 37)

Perjalanan mereka menaiki kereta dakwah iaitu suatu simbol musafir para aktivis dakwah.
Di dalamnya terdiri dari jenis manusia unggul, perjalanan musafirnya ke arah yang tetap dengan langkah yang mantap, tidak dapat dihalangi oleh berbagai penghalang dan tidak menoleh ke belakang serta tidak ada yang membelok dari jalan dakwah kecuali yang berpenyakit.

Siapa sahaja yang berhasil melakukan perjalanan dengan para pendakwah dalam kafilah ini, bererti ia akan mampu hidup dengan manusia yang lain dan ia juga akan berhasil menasihati dan mengarahkan mereka kerana ada seorang mukmin yang baik bagi dirinya namun ia kurang baik bila ia bergabung bersama orang lain dalam kafilah ini." 

[sumber: tintaperjalananku.blogspot.com]

UKHWAH ~ modal kekuatan umat Islam


Sejak akhir-akhir ini, nilai ukhuwah antara sesama Muslim semakin luntur, pada hal ukhuwah adalah dasar penting dalam binaan Islam yang kukuh. Ukhuwah juga modal kekuatan umat Islam dan kekuatan tidak akan mempunyai erti tanpa adanya kesatuan.

Kesatuan terhasil daripada sikap kebersamaan dan kebersamaan pula muncul daripada nilai persaudaraan yang tinggi antara sesama Muslim. Persaudaraan juga lahir daripada iman yang kuat terhadap Allah SWT.

Firman Allah SWT: “Sebenarnya orang yang beriman itu adalah bersaudara, maka damaikanlah di antara dua saudara kamu (yang bertelingkah) itu; dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beroleh rahmat.” (Surah Al-Hujurat, ayat 10) 


Ukhuwah bukan dalam erti yang sempit hanya terikat melalui hubungan darah dan kekeluargaan, tetapi ukhuwah terikat dengan satu akidah. Dasar akidah inilah yang mampu menyatukan cita-cita, berupaya menyatukan sikap dan tujuan, serta boleh mencipta kesatuan lebih luas.

Sikap takaful

Maka akan lahirlah sikap takaful iaitu saling membantu, ta’awun (saling menolong) dan tasamuh (saling menghargai dan bertoleransi).

Bukankah seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya? Malah seorang Muslim yang sebenarnya tidak akan menganiayai saudaranya, tidak akan menghinanya apatah lagi membiarkannya terjerumus kepada kehinaan.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mencukupkan keperluan saudaranya dan membantu menghilangkan kesusahan saudaranya, nescaya Allah akan memberikan kelapangan kepadanya pada hari kiamat.” (Riwayat Muslim)

Pada ketika lain, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang menutup aib saudaranya, maka Allah SWT akan menutup aibnya pada hari kiamat dan barang siapa yang berusaha menghilangkan kesulitan hidup saudaranya, nescaya Allah SWT akan menghilangkan daripada dirinya segala kesulitan pada hari kiamat.” (Riwayat Muslim)

Usah terpengaruh manusia jahat

Perlu diinsafi, kita adalah umat terbaik yang dilahirkan Allah SWT. Oleh itu, setiap Muslim janganlah mudah terpedaya atau terpengaruh dengan perancangan segelintir manusia jahat yang mahu memecahbelahkan umat Islam.

Janganlah kita menjadi umat seperti yang digambarkan Rasulullah SAW laksana buih di lautan, banyak tetapi tidak bermanfaat, apabila dihentam ombak ia turut mengikuti ombak, kemudian bila ombak surut, buih pun ikut surut.

Perbezaan dan permusuhan sebenarnya dicetuskan oleh manusia sendiri. Tanpa disedari, manusia telah membuat perbezaan antara sesama manusia. Islam mengajar umatnya supaya membina persaudaraan.

Terdapat beberapa kewajipan yang seharusnya dilaksanakan oleh Muslim yang menjalin ukhuwah dalam Islam. Orang yang sengsara pada hari kiamat nanti, bukan hanya orang yang tidak membangun hubungan baik dengan Allah, malah mereka yang tidak mampu melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah dalam membangun hubungan harmoni dengan sesama makhluk Allah SWT.

Sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kita berusaha menyeimbangkan hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia.

Betapa kuatnya hubungan nilai persaudaraan dan iman sehingga Rasulullah SAW mensyaratkan kecintaan kepada saudara sesama Muslim sebagai salah satu unsur pemantapan iman. Iman sejati menuntut jalinan persaudaraan yang kukuh pada jalan Allah.

[sumber: Berita Harian; 19 Mac 2013 - Dr. Engku Ahmad Zaki Engku Alwi]

TIPS Pendaki (Kembara: Air Terjun, Hutan, Gunung)


Tips Pemilihan Beg dan Cara mengisi Barang Ke dalam Beg Galas
Bagi penggemar aktiviti trekking saya kongsikan sedikit tips bagaimana untuk mengisi barang dan bekalan ke dalam beg galas.

Kriteria memilih Beg Galas (saya tidak mahu memberikan jenama) tetapi pilihlah berdasarkan kriteria seperti di bawah : 

1. Ringan dan tahan lasak 
2. Selesa untuk dibawa - kebiasaannya berframe yang akan mengikut bentuk badan.
3. Kedudukan tali yang tidak menghalang pernafasan
4. Kalis air
5. Beg untuk trekking seeloknya mempunyai poket-poket untuk mengisi barang sampingan.
6. Beg yang tidak berpoket sesuai untuk mendaki

Cara mengisi barang: 
Bahagikan beg kepada tiga bahagian :

a)  Bahagian bawah sekali - Isikan dengan barang yang ringan 
b)  Bahagian tengah - Isikan dengan barang yang sederhana berat
c)  Bahagian Atas - Isikan dengan barang yang paling berat
d)  Di bahagian atas juga hendaklah diletakkan barang-barang yang akan sentiasa digunakan semasa trekking seperti tuala dan makanan ringan.

Sekiranya beg yang berpoket, isikan poket dengan botol minuman atau apa jua yang sentiasa perlu digunakan sepanjang masa trekking. Sekiranya ada lagi barang yang perlu dibawa, ikatlah sama ada di luar bahagian atas atau di bawah beg. Jangan dibiarkan barang bergayutan dan berayun. Hayunan barang diluar beg akan mengganggu momentum perjalanan dan akan menjadi beban yang membuat kita letih. 

Untuk air minuman hendaklah gunakan botol yang tidak boleh pecah, kecil. dan sentiasa diisi penuh supaya tidak berkocak. Air yang berkocak juga boleh menjejaskan momentum. 

Cara menyandang beg :
Bahagian bawah beg hendaklah di paras atas punggung dan di bahagian atas pula jangan melebihi paras atas kepala.

Peralatan Dan Bekalan Mendaki
Aktiviti Mendaki dan trekking memerlukan peralatan yang khusus untuk perlindungan, keselamatan dan keselesaan sepanjang menjalankan aktiviti. Peralatan-peralatan asas yang mudah dibawa, tahan lasak, ringan perlu disediakan untuk menjalankan aktiviti sebegini. Bagi Bekalan Makanan/ration pula hendaklah disediakan untuk dibawa dari jenis yang ringan, ringkas, senang dimasak dan tidak tumpah.

Ringkasnya adalah seperti di bawah :

Peralatan :

1. Beg Galas - Ringan dan Lasak
2. Khemah 2men tent/Poncho
3. Messtin/periuk kecil
4. Cawan Plastik
5. Sudu
6. Alat memasak - Dapur gas kecil/bunsen burner/solid fuel
7. Botol Air (bukan kaca)
8. Pisau kecil
9. Alas tidur/Sleeping mate
10. Selimut/Sleeping bag
11. Lampu
12. Lampu Suluh
13. Wisel
14. Tali untuk ikatan
15. Mancis
16. Lilin (untuk masa kecemasan)

Pakaian:

1. Kasut Trekking/Kasut Jogging - hendaklah lembut dan berkusyen
2. Stoking Kapas
3. Seluar Trek atau Seluar yang sesuai (bukan jeans)
4. Baju - seeloknya T-Shirt berlengan panjang tetapi nipis
5. Topi yang sesuai
6. Pakaian Basahan - mandi
7. Tuala - Kecil dan Nipis
8. Pakaian dalam secukupnya
9. Pakaian Tidur
10. Baju Penahan Sejuk/windbreaker
11. Pakaian Sembahyang (bagi Muslim)
12. Sleeper Jepun atau yang sesuai untuk basahan

Bekalan Makanan :

1. Beras - 80g./orang/sekali makan
2. Gula - 15g./gelas air
3. Minuman - Kopi/Tea/Milo/susu tepung dsb.
4. Lauk jenis kering
5. Sardin (tin kecil) dan Sayur - untuk berkuah
6. Garam
7. Jem/Kaya
8. Biskut/Roti Tahan Lama
9. Glukos - kalau perlu

Perubatan :Kotak Pertolongan Cemas selengkapnya
[sumber: mountdweller.blogspot.com]

Kisah "CINTA"


Dalam surah ar-Rum ayat 21 Allah menyatakan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahawa Dia menciptakan isteri-isteri bagimu dari kalangan kamu sendiri supaya kamu dapat hidup tenang bersama mereka dan diadakan-Nya cinta kasih sayang antara kamu. Sungguh, dalam yang demikian ada tanda-tanda bagi orang yang menggunakan fikiran”
ISLAM menggariskan akhlak yang terbaik untuk merealisasikan percintaan sesama lelaki dan perempuan yang mukalaf. Terdapat tiga peringkat percintaan yang mana orang Islam hendaklah mencuba sedaya upaya mereka untuk memelihara kesucian cinta itu daripada dicemari unsur-unsur maksiat dan perkara-perkara yang dapat membawa kepada kemurkaan Allah. Tiga peringkat tersebut adalah cinta sebelum perkahwinan, cinta selepas bertunang dan cinta selepas perkahwinan.

Cinta Sebelum Kahwin
Cinta sebelum perkahwinan adalah cinta yang hadir daripada pergaulan harian dengan individu yang mempunyai kesamaan daripada segi cita rasa, peribadi, minat dan cara hidup. Ada kalanya cinta ini adalah cinta pandang pertama yang hadir secara mendadak, dan ia juga mungkin cinta yang dibina secara berperingkat melalui pertemuan dan pergaulan harian. Cinta sebelum perkahwinan biasanya tidak digalakkan dalam Islam, kerana dikhuatiri akan menjerumuskan pencinta itu ke kancah maksiat dan kelalaian dalam percintaan. Walau bagaimanapun, jika percintaan itu mempunyai matlamat suci, iaitu untuk membawa pencinta itu ke jinjing pelamin dan ikatan yang sah, maka sebagai pencinta yang beriman dan takutkan Allah, mereka haruslah menjaga dan memelihara perkara-perkara berikut:
1.Menjaga batas-batas pergaulan dengan tidak menyentuh sesama sendiri, tidak membuang masa berjam-jam dengan bertelefon atau berbual-bual, dan tidak menjadikan pergaulan mereka seperti suami isteri yang sudah sah dinikahkan. Mereka harus sedar dan berasa malu kerana mereka masih belum mempunyai sebarang hak ke atas satu sama lain.
2.Menghormati maruah dan harga diri masing-masing, dalam erti kata lain tidak membenarkan diri berdua-duaan dengan kekasih, kerana orang yang ketiga adalah syaitan. Di samping itu tidak berhias-hias atau menampakkan perhiasan di hadapan kekasih kerana dikhuatiri boleh menaikkan nafsu syahwat kekasih. Sebaik-baiknya sebarang pertemuan hendaklah melibatkan mahram atau ibu bapa yang mengawasi tingkah laku mereka.
3.Mendapat restu dan kebenaran dari ibu bapa adalah faktor kejayaan dalam percintaan sebelum perkahwinan. Restu daripada ibu bapa memudahkan proses pertunangan dan pernikahan yang akan berlangsung sebagai kelangsungan daripada cinta itu. Ibu bapa harus memainkan peranan dengan memastikan anak-anak tidak melupakan tanggungjawab peribadi dan batasan akhlak dan ajaran agama semasa bercinta.
4.Berdoa dan menunaikan solat hajat supaya percintaan yang dimiliki akan diredai dan diberkati Allah. Bermohon kepada Allah supaya cinta itu dapat membawa kepada kesempurnaan peribadi dan kesempurnaan agama dengan mendirikan rumah tangga dan memelihara kelangsungan cinta itu.
5.Sentiasa melakukan solat Istikharah bagi meneguhkan hati supaya orang yang dicintai itu adalah yang terbaik untuk menjadi pasangan hidup sehingga ke akhir hayat. Janganlah mencintai seseorang kerana harta, rupa atau keturunannya, tetapi cintailah dia kerana agama dan kemuliaan akhlaknya. Solat istikharah membantu supaya individu yang bercinta itu tidak menyesal dengan pilihannya dan dia wajiblah menjuruskan percintaannya itu untuk mendirikan rumah tangga yang terpelihara. Sekiranya dia bercinta tanpa niat untuk berumah tangga tetapi sekadar ingin bermain-main dan bersuka ria, maka percintaan itu adalah penipuan dan setiap perbuatan ke arah itu mencetuskan dosa dan kemurkaan Allah.
       Setiap perbuatan cinta seperti menyentuh kekasih, bersalaman, berdating, berpelukan dan bercanda adalah dilarang sebelum perkahwinan. Sebagai hamba Allah yang takut kepada kemaksiatan dan kehinaan hidup di dunia, pasangan kekasih hendaklah berasa malu untuk mempamerkan ‘cinta terlarang’ mereka kerana belum lagi diiktiraf oleh perkahwinan yang dituntut oleh syarak. Tetapi sebaliknya, apabila diikat dengan ikatan perkahwinan yang sah, perbuatan-perbuatan itu mendatangkan pahala dengan syarat suami isteri itu berusaha untuk menjaga batasan akhlak dan kesopanan tingkah laku apabila berada di khalayak ramai.


Cinta Selepas Bertunang
Kebanyakan orang yang bercinta menyimpan hasrat untuk mempertahankan cintanya hingga ke jinjang pelamin. Ber-tunang adalah cara yang dilakukan bagi menyempurnakan janji untuk berkahwin. Ia adalah tanda pengabadian cinta yang suci dan tulus. Cinta dalam pertunangan besar ujiannya kerana godaan dan cabaran yang datang dari pelbagai pihak mampu merubah hati dan pendirian pasangan. Orang yang bertunang dikatakan ‘berdarah manis’ kerana mudah terjebak kepada gangguan perasaan dan terdedah kepada pelbagai cabaran. Oleh sebab itu pertunangan tidak digalakkan untuk tempoh yang lama mengikut adat masyarakat Melayu. Malah ia tidak perlu dihebohkan kepada semua orang kerana dikhuatiri pasangan itu berubah hati dan tidak jadi melangsungkan perkahwinan.
     Bertunang tidak sama dengan berkahwin. Bertunang adalah ikatan tetapi ia belum diteguhkan oleh akad yang menghalal-kan segala perhubungan antara lelaki dan perempuan. Bertunang adalah tempoh suai kenal bukan tempoh memadu asrama. Maka orang yang sedang bertunang tidak boleh melanggar batas-batas agama kerana mereka masih belum ‘halal’ untuk sentuh-bersentuhan, cium-berciuman dan sebagainya. Pihak lelaki perlu menyedari mereka belum lagi menjadi suami, begitu juga pihak perempuan belum bergelar isteri. Maka berhati-hatilah dalam pergaulan kerana syaitan sentiasa menjadi orang ketiga yang tidak jemu menggoda dan cuba merosakkan cinta yang terbina.

Cinta Selepas Kahwin
Allah mengiktiraf cinta selepas perkahwinan sebagai yang terbaik dan sumber segala kesenangan dan kasih sayang sebagaimana yang dinyatakan di dalam Quran ayat 21 surah ar-Rum, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahawa Dia menciptakan isteri-isteri bagimu dari kalangan kamu sendiri supaya kamu dapat hidup tenang bersama mereka dan diadakan-Nya cinta kasih sayang antara kamu.
Sungguh, dalam yang demikian ada tanda-tanda bagi orang yang menggunakan fikiran”.
       Cinta selepas perkahwinan adalah cinta yang diredai dan dituntut oleh ajaran Islam. Cinta seharusnya berputik mekar selepas pasangan suami isteri itu mendapat mandat yang agung untuk bercinta melalui ikatan yang sah dan diiktiraf oleh agama dan juga anggota masyarakat. Bagi menyuburkan cinta selepas perkahwinan, maka pasangan suami isteri haruslah menghormati hak-hak dan tanggungjawab kepada yang dicintai dengan penuh kecintaan dan kasih sayang. Antara cara-cara untuk menyuburkan rasa cinta sebegitu adalah:
1.Membuktikan cinta melalui ketaatan, kasih sayang, pengorbanan dan kesungguhan memuliakan pasangan dan rumah tangga yang dibina. Pasangan suami isteri hendaklah sentiasa saling hormat-menghormati, menghargai perasaan dan tutur kata, sentiasa mendoakan kesejahteraan keluarga dan berusaha memelihara amanah dan janji yang dibuat.
2.Melahirkan zuriat sebagai bukti cinta yang terjalin. Sekiranya ditakdirkan tidak mempunyai zuriat, suami hendaklah bersabar dan tidak terburu-buru untuk berkahwin lain. Seharusnya usaha dilipatkan gandakan untuk mendapatkan zuriat baik secara tradisional mahupun secara perubatan. Sekiranya tidak berhasil, bolehlah mengambil anak angkat sebagai langkah alternatif.
3.Mengasihi dan menghormati ahli keluarga pasangan suami isteri. Bagi mewujudkan keluarga yang harmonis, perhubungan kedua-dua belah pihak hendaklah dijaga dan dipelihara sebaik mungkin. Sesekali, hadiah dapat dijadikan penghubung kasih-sayang dan tidak lupa untuk bertanya khabar sekiranya tidak berkesempatan untuk menziarahi keluarga yang jauh.
Seharusnya Cinta…
Insan yang beriman sering kali meletakkan sandaran yang kuat dan kukuh kepada Allah. Maka, dalam soal percintaan, sering kali mereka bersikap tenang dan menyerah diri kepada ketentuan Allah. Ini adalah kerana mereka yakin cinta datang dari Allah dan hanya Dia sahaja yang dapat menganugerahkan atau menghapuskan cinta itu. Allah adalah Pencipta kepada cinta, dan setiap penciptaan-Nya ada matlamat dan sebab kewujudannya, yang sering kali tidak cuba difahami oleh manusia.
Hanya segelintir sahaja yang memahami hakikat didatangkan perasaan cinta itu, iaitu kembali kepada asal matlamat kejadian manusia; untuk menyembah dan melakukan ketaatan kepada Allah. Tidak kira apa bangsa ataupun agama sekalipun, hakikat cinta adalah kembali kepada mengagungkan dan membesarkan Tuhan yang menciptakan segala cinta. Agama Islam, Kristian, Buddha, Hindu serta lain-lain agama tetap mengupas persoalan cinta sebagai sumber kedamaian hati dan keamanan dunia.
Realiti cinta menuntut pengorbanan daripada setiap individu yang berani untuk melibatkan dirinya dalam percintaan. Cinta penuh dengan air mata, aliran perasaan yang amat deras dan getaran yang mengilukan hati.
Cinta juga penuh dengan keindahan, keselesaan, kehalusan perasaan dan kenikmatan jasmani mahupun rohani. Ini adalah kerana, cinta tidak hanya melibatkan perasaan semula jadi antara lelaki dan perempuan sahaja tetapi juga melibatkan perhubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan alam, serta manusia dan perbuatan.
Oleh yang demikian, insan yang beriman dapat mengelakkan diri daripada melakukan kesilapan dalam pergaulan, kekecewaan dalam percintaan, dan kehancuran dalam kehidupan. Mereka memahami hakikat cinta dan jenis-jenis cinta yang wujud dalam dunia ini, lantas menjadikan fikiran mereka lebih terbuka dan bijaksana dalam menangani soal percintaan. Penderitaan, penyesalan, dan kebencian tidak dijadikan sebagai sumber yang boleh memudaratkan diri dan hati, tetapi sebaliknya sebagai sumber yang memberi kesedaran dan keinsafan akan hakikat kehidupan yang sebenarnya.Oleh itu saya sentiasa ingin mengingatkan kwn2 serta diri saya sendiri apabila kita bercinta hendaklah berlandaskan islam.
[sumber: ashirza.blogspot.com]

Fahami Kehidupan & Amalkan dengan baik


KESEDARAN manusia untuk kembali di bawah nilai murni Islam sangat ketara sejak kebelakangan ini. Kesedaran ini lahir selepas ada manusia yang gagal mengubah nilai hidup mereka ke arah yang lebih baik dan selesa serta selamat daripada ancaman.
Walaupun kesedaran ini lahir bukan kerana dirasakan perlunya kepada satu sistem hidup pilihan, tetapi ia lebih didorong rasa tanggungjawab dan tuntutan Islam itu sendiri. Tambahan, sistem nilai murni kehidupan Islam bukanlah satu sistem pilihan yang boleh direka sesuka hati, tetapi adalah satu sistem Ilahi yang unggul. Keunggulan yang mencakupi kebahagiaan dunia dan akhirat serta tidak dapat dibandingkan dengan sistem hidup pilihan lain yang ada di dunia ini.
Namun, jika sistem Islam itu masih dilihat sebagai satu pilihan, nescaya akan lahir sekurang-kurangnya dua akibat yang membimbangkan.
Akibat pertama ialah muncul golongan manusia Islam ‘tempelan’ yang mengamalkan nilai murni Islam secara sambil lewa kerana berpegang kepada cara hidup pilihan, yang sendirinya memberi makna ‘cara hidup pilihan’, bukannya kewajipan. Ini menyebabkan dia mengamalkan nilai Islam sekadar yang dirasakan perlu atau hanya sesuai dengan nalurinya.
Mana-mana nilai yang dilihat mengikat atau menyekat kemahuannya akan ditinggalkan. Pada masa sama, dia juga tidak segan beramal dengan nilai yang bercanggah dengan Islam. Dalam kata lain, dia menganggap cara hidup Islam serupa dengan sistem hidup lain, diambil dan dipakai apabila dirasakan perlu dan ditinggalkan apabila sudah tidak ada kepentingan.
Akibat kedua terhasil daripada kesan pertama, iaitu memecahkan kefahaman syumul (menyeluruh) yang dibawa Islam, terutamanya menyentuh tujuan, asas, falsafah dan pelaksanaannya.
Kefahaman terhadap perkataan ‘alternatif’ itu sendiri lebih cenderung kepada menegakkan pelaksanaannya saja, bukan merangkumi segala apa dihajatkan oleh Islam.
Sebagai contoh, ada pandangan yang menyarankan supaya segala kemudahan teknologi dicipta manusia dipakai dan dilaksanakan penggunaannya dalam masyarakat kerana dirasakan selaras dengan syariat Islam, tetapi tujuan, asas dan falsafah teknologi itu tidak diterangkan dan diteliti dengan bersungguh-sungguh.
Penekanannya hanya berkisar dalam perspektif penggunaan dan pelaksanaan teknologi saja, tetapi meminggirkan tujuan, asas dan falsafahnya, sehingga penggunaannya memungkinkan penyelewengan bertentangan dengan ketauhidan dan cara hidup Islam.
Begitulah seterusnya pemikiran dan salah faham yang menggalakkan manusia bekerja dan membanting tulang siang dan malam atau membabitkan diri secara maksimum dalam pembangunan, tetapi tujuan, asas dan falsafah di sebalik pembangunan itu tidak diberi penekanan dengan sewajarnya.
Sungguhpun manusia itu dapat dirangsang dengan baik untuk membabitkan diri dalam pembangunan, namun ciri-ciri pembangunan yang dibawa tetap menurut perspektif tidak Islam. Pembangunan hanya dianggap sebagai usaha memaksimumkan pengeluaran dan kepuasan kepenggunaan saja.
Dalam suasana pembangunan sebegini, manusia akan dilihat hanya dari satu dimensi, iaitu dimensi lahiriah dengan tidak mengambil kira dimensi kerohanian dan kepentingannya dalam pembangunan. Akhirnya, usaha memajukan manusia hanya berlaku pada peringkat pelaksanaan kaedah dan penggunaan.
Pembangunan ini sekali imbas memang dikagumi dan mempesonakan, meliputi segala apa yang ada di bumi, laut dan udara dan terus berkembang dan memuncak naik. Namun, jika dilihat dari segi pembangunan diri manusia itu sendiri, ia amat parah. Ini kerana tujuan, asas dan falsafah pembangunan yang dipegang itu, salah dan kabur.
Pembangunan yang hanya memajukan manusia dari segi lahiriah, tidak sepatutnya berlaku dalam usaha menegakkan kembali sistem hidup Islam. Ini kerana, ia bukan saja memerlukan pengolahan semula kaedah pada peringkat pelaksanaan, malah lebih penting dari itu, ia mesti membabitkan pengolahan dan pengukuhan semula pada peringkat pemahaman tujuan, asas dan falsafah yang menyentuh konsep dan teori.
Maknanya, sistem hidup Islam mesti ditegakkan di luar daripada kerangka sistem hidup yang bukan Islam, dengan objektif, asas, falsafah, definisi, konsep, teori dan pelaksanaannya yang tersendiri berdasarkan kepada Wahyu Ilahi. Jika langkah ini tidak dilakukan, usaha menegakkan sistem hidup Islam tidak akan bebas daripada perangkap yang memerangkap sistem yang lain.
Contohnya, sistem Islam dan sosialisme, pada peringkat falsafahnya, mungkin dirasakan menentang kezaliman. Tetapi, pada hakikatnya, baik pada peringkat konsep atau teori, keadaan ini jauh berbeza. Sistem hidup sosialisme melihat kezaliman dalam konteks perhubungan mendatar iaitu antara manusia dengan manusia atau manusia dengan alam sekitar saja, sedangkan Islam melihat kezaliman bukan saja dalam konteks mendatar, malah dalam hubungan menegak antara manusia dengan Penciptanya.
Al-Quran menyebut kezaliman pada peringkat mendatar ini melalui firman-Nya yang bermaksud: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapa dan saudaramu pemimpin(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” – (Surah at Taubah, ayat 23).
Sementara zalim pada peringkat menegak digambarkan Allah dalam al-Quran yang bermaksud: “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengadakan pendustaan terhadap Allah atau mendustakan ayat-Nya? Sesungguhnya, tidaklah beruntung orang yang berbuat dosa.” – (Surah Yunus, ayat 7).
Justeru, setiap konsep dibawa Islam adalah tidak terhad kepada jangkauan pancaindera manusia. Oleh itu, amat penting umat Islam kini kembali menilai sejauh mana pemikiran cara hidup Islam yang merangkumi tujuan, asas, falsafah dan pelaksanaannya.
Kita harus memahami bahawa dalam memperkatakan mengenai pembangunan mengikut cara Islam, pemahaman konsep dan kaedah pelaksanaan adalah dua faktor penting dan tidak boleh dipisahkan. Kedua-duanya perlu difahami dengan mendalam sebelum diterjemahkan kepada pelaksanaan.
Sungguhpun penekanan pemahaman konsep penting dalam usaha untuk memajukan manusia, namun kaedah pelaksanaannya juga sama penting. Ini kerana, konsep dan kaedah tidak mungkin dapat difahami dengan jelas, jika tidak melalui pengalaman dalam proses pelaksanaan.
Pemahaman terhadap konsep dan kaedah adalah ilmu, sementara pelaksanaannya pula adalah amalan. Justeru, perlu kedua-duanya berada dalam satu gabungan dan berjalan seiring dalam usaha melahirkan manusia membangun serta dinamik bersesuaian dengan tuntutan Rabbani.
[sumber: Artikel oleh Abu Bakar bin Yang; www.ikim.gov.my]